Banyak mahasiswa menjadi panic dan dilanda putus asa saat mengejar target kelulusan baca Al-Qur’an. Masa akhir studi disibukkan oleh bimbingan skripsi. Di samping harus mengejar dosen pembimbing, memikirkan revisi, juga pusing memikirkan kemampuan baca Al-Qur’an. Bila tidak lulus baca Al-Qur’an, maka ujian skripsi terancam gagal. Minimalnya tertunda. Konsekuensinya wisuda pun akan tertunda.
Diambillah jalan pintas: minta dispen. Dispen adalah surat keterangan keringanan untuk menunda sementara kelulusan baca Al-Qur’an. Yang penting bisa ikut ujian skripsi dulu, baru bimbingan mengaji lagi, lalu ujian ngaji lagi sampai lulus. Sampai wisuda belum lulus baca Al-Qur’an? Ijazah belum bisa diberikan. Inilah upaya sistemik mendorong ilmuwan muslim mencintai Al-Qur’an.
Apakah harus dihapuskan saja ujian baca Al-Qur’an agar calon lulusan tidak kesrimpet hanya untuk urusan mengaji? Bukan itu solusinya. Yang perlu difikirkan adalah bagaimana mengupayakan ketercapaiannya dengan didukung oleh segenap pihak kampus yang terkait. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) adalah lembaga keislaman kampus yang bertugas menyelenggarakan pembinaan dan ujiannya. Namun bagaimana menumbuhkan motivasi mahasiswa untuk belajar dan rajin mengikuti pembinaan membaca Al-Qur’an bukanlah tugas LPPI semata. Dukungan moral dari prodi sangat diperlukan.
Apakah dukungan itu hanya diberikan prodi pada saat mahasiswa sudah mentok di saat bimbingan skripsi? Semestinya tidak. Dosen di tiap mata kuliah juga memiliki andil yang luar biasa untuk memotivasi mahasiswa agar selalu membaca Al-Qur’an. Caranya? Dengan menguraikan integrasi keilmuan profesi dengan ayat Al-Qur’an. Mengapa? Karena Al-Qur’an adalah basis keilmuan. Titik berangkat seorang ilmuwan mengkaji, meneliti, hingga menyampaikannnya dalam pengajaran dan melakukan pengabdian masyarakat adalah nilai-nilai Al-Qur’an. Hal integrase ilmu dan Al-Qur’an akan dibahas pada lain kesempatan, insyaallah. Pembahasan kali ini akan lebih focus pada pencapaian target kelulusan baca Al-Qur’an.
Beberapa mahasiswa yang saya temui dan belum lulus mengaji, mengeluh pada saya. “Bu, kami ingin segera lulus kuliah..” Saya jawab ringan,”Ya, ikuti bimbingan mengaji di masjid kampus.” Ada pertanyaan besar dalam benak saya, mengapa mereka tidak mempelajari sejak dulu? Mengapa baru sekarang mereka sibuk bimbingan baca Al-Qur’an? Wajar kan kalau itu membuat stress?
Ketika melewati masjid kampus dan melihat antrian bimbingan mengaji yang panjang, pikiran saya kembali teraduk. Bagus sih semangat mereka ikut bimbingan, tapi mengapa mereka antrinya sibuk dengan hp masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggoda. Saya tidak habis pikir, mengapa untuk urusan mengaji saja kok jadi tampak susah.
Saya sadar bahwa tangan saya hanya kecil. Saya tidak berwenang membuat kebijakan. Saya hanyalah pengajar biasa. Maka wewenang saya hanya pada kelas yang saya ampu. Mengaji di awal perkuliahan yang telah menjadi keputusan dan kebijakan kampus, perlu saya dukung. Landasan ayat Al-Qur’an untuk setiap materi yang disampaikan di kelas juga disampaikan. Adapun khusus pada materi hafalan surat, ini adalah kesempatan lebar bagi saya untuk memastikan mahasiswa tertambat hatinya pada Al-Qur’an.
Setelah saya mencontohkan bacaan yang benar pada satu ayat, saya minta mahasiswa satu per satu menirukannya. Masukan terhadap bacaan mereka, saya minta dicatat pada buku mereka masing-masing. Ada yang bermasalah pada huruf “a”, “ha”, “sa” dst. Ini masalah makharijul hurf. Ada pula yang mengalami masalah pada panjang pendek bacaan. Ada pula yang bermasalah pada tajwidnya. Setiap mahasiswa memiliki masalah bacaan masing-masing. Inilah keunikan kondisi kelas. Solusi pada tiap kelas pun akhirnya berbeda-beda. Di sinilah peran penting guru, pengajar atau pembimbing untuk mengenali karakteristik persoalan yang dihadapi tiap peserta didiknya.
Di akhir perkuliahan, saya minta mereka menuliskan refleksi pembelajaran. Di antara pelajaran yang mereka dapatkan dari proses membaca Al-Qur’an ini adalah:
Perlu membaca Al-Qur’an setiap hari,
Ketika menghadapi masalah, pastikan membuka Al-Qur’an,
Lebih semangat dalam menghafalkan surat-surat pendek.
Tidak menunda-nunda waktu shalat,
Lebih menghargai ketika ada teman membaca Al-Qur’an.
Memperbaiki cara membaca Al-Qur’an dari makharijul huruf dan tajwid,
Mempelajari kembali ilmu tajwid,
Sering-sering mendengarkan murattal Al-Qur’an, terutama saat hendak tidur,
Berkendara pun senantiasa melantunkan dalam hati bacaan surat Al-Qur’an. Naik motor ke kampus, baca surat Juz Amma. Naik bis, naik kereta, ataupun naik gojek, pastikan selalu melantunkan bacaan Al-Qur’an dalam hati.
Tentu saja refleksi mereka membuat saya tersentuh dan terharu. Dengan itu, saya berharap mereka termotivasi untuk membaca dan membaca Al-Qur’an. Hanya itu? Agar pada saatnya kelak, ketika mereka bimbingan skripsi, tidak lagi disibukkan dengan bimbingan baca Al-Quran.
Bagaimana mengejar target kelulusan mahasiswa dalam Al-Qur’an bagi mahasiswa yang sudah dalam keadaan kepepet? Waktu yang dipunyai hanya satu bulan saja?
Tentu diajak belajar mengaji pelan-pelan. Mempelajari dari pelajaran yang sangat dasar, yaitu pengenalan huruf. Hlo, apakah mereka belum kenal huruf hijaiyyah? Buat yang sudah kenal, ini sifatnya review. Ada banyak mahasiswa lainnya yang kemungkinan sebagai muallaf. Atau, bisa jadi mereka pernah belajar mengaji, tapi dulu banget, sehingga lupa huruf hijaiyah.
Target yang akan kita capai baru sebatas target minimal kelulusan, yaitu nilai 70. Yang penting lulus. Makhraj benar, tajwid benar, dan lancar. Nah, ini yang akan menjadi focus pembelajaran. Menjadi urgen dan strategis dalam kondisi seperti ini untuk menampilkan pembelajaran baca Al-Qur’an yang menyenangkan. Kuncinya pertama adalah aturan main dalam pembelajaran disampaikan untuk bisa ditaati bersama. Pada pelaksanaannya, tidak serta merta aturan dapat ditegakkan. Pendidik perlu mengingatkan terus menerus aturan yang yang telah disepakati. Saat kita tenggelam dalam pembelajaran baca Al-Qur’an seperti ini, terasa ada sebuah kenikmatan yang luar biasa. Melihat mahasiswa satu per satu mulai termotivasi untuk membaca dan membaca Al-Qur’an, menumbuhkan harapan baru dalam hidup ini. Al-Qur’an bukan lagi beban mahasiswa. Bukan momok atau pun monster. Sebaliknya, Al-Qur’an adalah sebuah kerinduan.
Sampai di titik ini, saya belajar bahwa mahasiswa itu memerlukan bantuan serius tentang pembelajaran baca Al-Qur’an ini. Saya teringat pada sebuah refleksi sederhana pendidikan “Bila bisa dibuat mudah, mengapa harus dibuat sulit?”
Yogyakarta, 17 April 2020
Sri Lestari Linawati lulusan Sastra Arab UGM dan Psikologi Pendidikan Islam Magister Studi Islam UMY. S-2 nya ditempuh setelah 14 tahun berlalu dari S1-nya, yaitu sejak keempat buah hatinya besar. Sejak lulus S2, tahun 2014, Lina mengabdi di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi UNISA (Universitas ‘Aisyiyah) Yogyakarta. Kegiatan pengajaran yang diampunya adalah pembelajaran baca Al-Qur’an dan semua kegiatan kampus yang terkait, seperti Asrama, OSCIE. Baitul Arqam dan mata kuliah AIK.