Seminggu lagi saatnya UTS, ujian tengah semester. Karenanya, minggu ini focus merampungkan materi teori dan menyiapkan naskah UTS. Ujian kali ini berbeda, karena ini memang situasi work from home, learning from home, di rumah aja. Tiap pagi memang selalu kita saksikan hadirnya mentari. Pohon-pohon dan dedaunan masih menari-nari dihembus angin. Masih terdengar kokok ayam menyambut hadirnya pagi. Beberapa ekor ayam jantan dan betina juga masih tampak berkeliaran di halaman. Panas dan hujan pun datang silih berganti. Namun, ini masa kami sebaiknya di rumah aja.
Bekerja dari rumah sebagai himbauan pemerintah, ya.. mungkin baru kali ini. Kita semua dihimbau untuk bekerja dari rumah. Kalau pun terpaksa keluar, itu apabila dalam keadaan tertentu yang sangat mendesak untuk keluar. Pedagang sayur dan buah, tentu keluar rumah. Pak tani yang sedang tanam atau panen, tentu di sawah, tidak bisa online. Begitu pula para tenaga kesehatan di rumah sakit, berdiri di garda terdepan memberikan layanan kesehatan bagi para pasien, termasuk pasien covid-19.
Nah, hari senin kemarin saya sudah mengagendakan untuk mengatur ulang jadwal kuliah yang sebelumnya dibatalkan. Saya berharap mereka telah fresh kembali. Karena itu, saya melakukan koordinasi intensif dengan pj kelas. Mengapa harus intensif? Karena yang dikoordinasikan bukan sekadar tanggalnya saja, namun persiapan materinya juga. Saya berharap setiap mahasiswa di kelas ini mampu menangkap substansi pesan perkuliahan Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan.
Beberapa anak tetangga bermain di depan rumah. Maklumlah dunia anak memang bermain, jadi tidak bisa duduk tenang bila harus duduk diam seharian di rumah. Kebetulan ada kertas gambar, jadi saya bagikan pada mereka. “Ini ada kertas gambar. Ini pulpennya. Silakan gambar apa saja yang ingin digambar. Dipenuhi saja satu halaman ini. Ingat… jaga jarak ya… apa namanya? Ya, physical distancing,” saya memberi pengantar.
Bersegera mereka berempat menerima kertas dan memilih warna pulpen yang mereka sukai. “Yo… yo… nggambar…. Jaga jarak…,” kata seorang anak dengan senyum dan semangat. Lega melihat anak-anak itu juga menangkap himbauan pemerintah untuk physical distancing, jaga jarak. Hla kok masih berdekatan? Kumpul-kumpul? Yach namanya anak-anak, memang harus pelan-pelan dan terus menerus diingatkan. Usai itu saya tinggal masuk untuk merampungkan tugas.
Beberapa saat kemudian, mereka datang lagi, “Bu Lina, apakah kertasnya masih ada?” Kembali saya menghampiri mereka. Ternyata ada dua anak lagi yang datang bergabung. Saya serahkan kertas dan alat tulis, sambil berpesan lagi, “Ingat ya… jaga jarak… physical distancing….” Anak-anak berlalu sambil mengulang pesan saya. “Nggambar.. Jaga jarak..” kata mereka dengan riang. Saya masuk kembali ke ruang kerja dan menyiapkan materi kuliah.
Siang, putri saya memanggil, “Bu, anak-anak datang lagi, nyari Ibu, mau nyerahin gambarnya. Gambar mereka sudah jadi.” Kembali saya ke depan menemui anak-anak. Benar, mereka laporan gambarnya sudah jadi. Tentu saya harus menghargai kerja mereka. “Alhamdulillah… bagus.. ditempel di papan pengumuman RT ya..” Dengan semangat mereka menuju papan pengumuman RT setelah menerima selotip dan gunting. “Ingat lho… tetap jaga jarak…,” pesan saya. “Ya, Bu..” jawab mereka sambil berlalu.
Kembali saya merampungkan materi. Saya hanya berharap konsentrasi saya tidak buyar… haha.. ini sudah minggu terakhir sebelum UTS. Agendanya sudah padat merayap: merampungkan teori, menyiapkan naskah ujian dan ngecek kehadiran mahasiswa. Sebenarnya sih hanya presensi kelas besar yang dihitung dan biasanya sudah terdeteksi dalam akademik, sehingga dosen pengampu tidak perlu repot-repot ngecek. Masalahnya, mahasiswa di kelas praktikum yang menanyakan presensinya yang kurang. Yang begini ini yang seringkali bikin ribet. Tidak apa. Ini mengajarkan pada saya untuk meningkatkan kesabaran menghadapi mahasiswa. Saya akan ngecek, agar saya bisa menjawab dengan benar pertanyaan mahasiswa via whatsapp.
Tok.. tok.. tok.. Assalamu’alaikum.. Terdengar pintu depan diketuk. Suara anak-anak. Saya mulai cemas, apalagi nih? Untunglah putriku tersenyum cengar-cengir melihat tingkah polah anak-anak. “Anak-anak datang lagi,” kata putri saya. Dengan senyum, saya pun membuka pintu. “Mengembalikan ini, Bu,” kata Aya, “terima kasih..” Ternyata mereka telah rampung menempelkan gambar-gambar mereka. “Oya, sama-sama,” jawab saya. “Alhamdulillah,” gumam saya dalam hati.
Inilah foto hasil karya anak-anak yang seharian tadi bermain di depan rumah. Mas suami yang motret saat lewat depan papan pengumuman tersebut. Saya sih di rumah aja.. hehe.. Keesokan harinya, sambil olahraga pagi, saya sempatkan melihatnya sendiri. Ternyata anak-anak itu adalah Ghani, Widya, Diesfa, Aya, Brian, dan Aliya. Layaknya guide wisata, Ghani menjelaskan satu satu gambar yang dipajang itu. “Alhamdulillah, bagus. Seminggu biarkan gambar ini dipajang di sini. Seminggu lagi, silakan ganti dengan gambar baru..,” saya memberikan respon. “Seminggu?” tanya Ghani. “Iya, seminggu.. seminggu ada berapa hari?” tanya saya. Kami menghitung bersama “senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu. Tujuh hari.” “Nah, kalau begitu kapan gambar diganti dengan gambar baru?” tanya saya pada Ghani yang kelas 2 SDN Kanoman. Dia pun berfikir sejenak, lalu menjawab agak ragu, “senin..” Segera saya jawab, “Betuuul…”
Pagi itu masih pagi banget. Tak ada seorang pun yang lalu lalang. Kebetulan menyapu halaman sudah usai, jadi masih punya waktu untuk ‘ngaruhke’ seorang calon generasi bangsa, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di fikiran bocah kecil ini. Kebetulan tidak jauh dari papan pengumuman ini, di gapura masuk dusun kami, terpasang backdrop peringatan covid-19. Saya mengajak Ghani membacanya satu satu. Saya tunjukkan pula backdrop peringatan yang terpasang di atas gang ini. Peringatan bagi pemudik luar daerah yang datang ke dusun ini.
Ghani manggut-manggut, coba memahami keadaan covid-19. Ya, keadaan inilah yang memaksa kita semua untuk tidak beraktifitas seperti biasanya. Tidak berkerumun. Tidak kumpul-kumpul. Menjaga jarak. Mencuci tangan dengan 6 langkah. Menjaga pola hidup bersih dan sehat. Sekira pengertian itu sudah diterima oleh bocah bernama Ghani ini, kami pulang.
Saya belajar bahwa anak-anak itu cerdas. Sekecil itu pun, mereka bisa kok diberi pengertian. Memang tidak sekali penjelasan langsung faham. Dibutuhkan langkah-langkah kecil yang persuasif dan penuh kegembiraan, hingga mereka faham makna keadaan stay at home, physical distancing. Hanya dibutuhkan kesediaan orang tua atau pendamping anak untuk berbicara dengan mereka. Bersedia juga untuk ditanya mereka dan ditanya lagi. Istilah bahasa Jawanya ‘greteh’. Maklumlah, corona ini kan tidak kasat mata, maka kita pun musti punya stok kesabaran luar biasa menghadapi anak-anak. Yakinlah suatu saat mereka akan faham, selama kita mau sabar mengajarkan nilai-nilai pada mereka. “Jawaban yang lemah lembut, dapat menyingkirkan kemarahan.” (George Rona).[]
Yogyakarta, 8 April 2020