oleh admin | 6 Rabi'ul Awwal 1442 H | 23 Oktober 2020 M | Tulisan/Artikel
Seminggu lagi saatnya UTS, ujian tengah semester. Karenanya, minggu ini focus merampungkan materi teori dan menyiapkan naskah UTS. Ujian kali ini berbeda, karena ini memang situasi work from home, learning from home, di rumah aja. Tiap pagi memang selalu kita saksikan hadirnya mentari. Pohon-pohon dan dedaunan masih menari-nari dihembus angin. Masih terdengar kokok ayam menyambut hadirnya pagi. Beberapa ekor ayam jantan dan betina juga masih tampak berkeliaran di halaman. Panas dan hujan pun datang silih berganti. Namun, ini masa kami sebaiknya di rumah aja.
Bekerja dari rumah sebagai himbauan pemerintah, ya.. mungkin baru kali ini. Kita semua dihimbau untuk bekerja dari rumah. Kalau pun terpaksa keluar, itu apabila dalam keadaan tertentu yang sangat mendesak untuk keluar. Pedagang sayur dan buah, tentu keluar rumah. Pak tani yang sedang tanam atau panen, tentu di sawah, tidak bisa online. Begitu pula para tenaga kesehatan di rumah sakit, berdiri di garda terdepan memberikan layanan kesehatan bagi para pasien, termasuk pasien covid-19.
Nah, hari senin kemarin saya sudah mengagendakan untuk mengatur ulang jadwal kuliah yang sebelumnya dibatalkan. Saya berharap mereka telah fresh kembali. Karena itu, saya melakukan koordinasi intensif dengan pj kelas. Mengapa harus intensif? Karena yang dikoordinasikan bukan sekadar tanggalnya saja, namun persiapan materinya juga. Saya berharap setiap mahasiswa di kelas ini mampu menangkap substansi pesan perkuliahan Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan.
Beberapa anak tetangga bermain di depan rumah. Maklumlah dunia anak memang bermain, jadi tidak bisa duduk tenang bila harus duduk diam seharian di rumah. Kebetulan ada kertas gambar, jadi saya bagikan pada mereka. “Ini ada kertas gambar. Ini pulpennya. Silakan gambar apa saja yang ingin digambar. Dipenuhi saja satu halaman ini. Ingat… jaga jarak ya… apa namanya? Ya, physical distancing,” saya memberi pengantar.
Bersegera mereka berempat menerima kertas dan memilih warna pulpen yang mereka sukai. “Yo… yo… nggambar…. Jaga jarak…,” kata seorang anak dengan senyum dan semangat. Lega melihat anak-anak itu juga menangkap himbauan pemerintah untuk physical distancing, jaga jarak. Hla kok masih berdekatan? Kumpul-kumpul? Yach namanya anak-anak, memang harus pelan-pelan dan terus menerus diingatkan. Usai itu saya tinggal masuk untuk merampungkan tugas.
Beberapa saat kemudian, mereka datang lagi, “Bu Lina, apakah kertasnya masih ada?” Kembali saya menghampiri mereka. Ternyata ada dua anak lagi yang datang bergabung. Saya serahkan kertas dan alat tulis, sambil berpesan lagi, “Ingat ya… jaga jarak… physical distancing….” Anak-anak berlalu sambil mengulang pesan saya. “Nggambar.. Jaga jarak..” kata mereka dengan riang. Saya masuk kembali ke ruang kerja dan menyiapkan materi kuliah.
Siang, putri saya memanggil, “Bu, anak-anak datang lagi, nyari Ibu, mau nyerahin gambarnya. Gambar mereka sudah jadi.” Kembali saya ke depan menemui anak-anak. Benar, mereka laporan gambarnya sudah jadi. Tentu saya harus menghargai kerja mereka. “Alhamdulillah… bagus.. ditempel di papan pengumuman RT ya..” Dengan semangat mereka menuju papan pengumuman RT setelah menerima selotip dan gunting. “Ingat lho… tetap jaga jarak…,” pesan saya. “Ya, Bu..” jawab mereka sambil berlalu.
Kembali saya merampungkan materi. Saya hanya berharap konsentrasi saya tidak buyar… haha.. ini sudah minggu terakhir sebelum UTS. Agendanya sudah padat merayap: merampungkan teori, menyiapkan naskah ujian dan ngecek kehadiran mahasiswa. Sebenarnya sih hanya presensi kelas besar yang dihitung dan biasanya sudah terdeteksi dalam akademik, sehingga dosen pengampu tidak perlu repot-repot ngecek. Masalahnya, mahasiswa di kelas praktikum yang menanyakan presensinya yang kurang. Yang begini ini yang seringkali bikin ribet. Tidak apa. Ini mengajarkan pada saya untuk meningkatkan kesabaran menghadapi mahasiswa. Saya akan ngecek, agar saya bisa menjawab dengan benar pertanyaan mahasiswa via whatsapp.
Tok.. tok.. tok.. Assalamu’alaikum.. Terdengar pintu depan diketuk. Suara anak-anak. Saya mulai cemas, apalagi nih? Untunglah putriku tersenyum cengar-cengir melihat tingkah polah anak-anak. “Anak-anak datang lagi,” kata putri saya. Dengan senyum, saya pun membuka pintu. “Mengembalikan ini, Bu,” kata Aya, “terima kasih..” Ternyata mereka telah rampung menempelkan gambar-gambar mereka. “Oya, sama-sama,” jawab saya. “Alhamdulillah,” gumam saya dalam hati.
Inilah foto hasil karya anak-anak yang seharian tadi bermain di depan rumah. Mas suami yang motret saat lewat depan papan pengumuman tersebut. Saya sih di rumah aja.. hehe.. Keesokan harinya, sambil olahraga pagi, saya sempatkan melihatnya sendiri. Ternyata anak-anak itu adalah Ghani, Widya, Diesfa, Aya, Brian, dan Aliya. Layaknya guide wisata, Ghani menjelaskan satu satu gambar yang dipajang itu. “Alhamdulillah, bagus. Seminggu biarkan gambar ini dipajang di sini. Seminggu lagi, silakan ganti dengan gambar baru..,” saya memberikan respon. “Seminggu?” tanya Ghani. “Iya, seminggu.. seminggu ada berapa hari?” tanya saya. Kami menghitung bersama “senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu. Tujuh hari.” “Nah, kalau begitu kapan gambar diganti dengan gambar baru?” tanya saya pada Ghani yang kelas 2 SDN Kanoman. Dia pun berfikir sejenak, lalu menjawab agak ragu, “senin..” Segera saya jawab, “Betuuul…”
Pagi itu masih pagi banget. Tak ada seorang pun yang lalu lalang. Kebetulan menyapu halaman sudah usai, jadi masih punya waktu untuk ‘ngaruhke’ seorang calon generasi bangsa, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di fikiran bocah kecil ini. Kebetulan tidak jauh dari papan pengumuman ini, di gapura masuk dusun kami, terpasang backdrop peringatan covid-19. Saya mengajak Ghani membacanya satu satu. Saya tunjukkan pula backdrop peringatan yang terpasang di atas gang ini. Peringatan bagi pemudik luar daerah yang datang ke dusun ini.
Ghani manggut-manggut, coba memahami keadaan covid-19. Ya, keadaan inilah yang memaksa kita semua untuk tidak beraktifitas seperti biasanya. Tidak berkerumun. Tidak kumpul-kumpul. Menjaga jarak. Mencuci tangan dengan 6 langkah. Menjaga pola hidup bersih dan sehat. Sekira pengertian itu sudah diterima oleh bocah bernama Ghani ini, kami pulang.
Saya belajar bahwa anak-anak itu cerdas. Sekecil itu pun, mereka bisa kok diberi pengertian. Memang tidak sekali penjelasan langsung faham. Dibutuhkan langkah-langkah kecil yang persuasif dan penuh kegembiraan, hingga mereka faham makna keadaan stay at home, physical distancing. Hanya dibutuhkan kesediaan orang tua atau pendamping anak untuk berbicara dengan mereka. Bersedia juga untuk ditanya mereka dan ditanya lagi. Istilah bahasa Jawanya ‘greteh’. Maklumlah, corona ini kan tidak kasat mata, maka kita pun musti punya stok kesabaran luar biasa menghadapi anak-anak. Yakinlah suatu saat mereka akan faham, selama kita mau sabar mengajarkan nilai-nilai pada mereka. “Jawaban yang lemah lembut, dapat menyingkirkan kemarahan.” (George Rona).[]
Yogyakarta, 8 April 2020
oleh Sri Lestari Linawati | 29 Sya'ban 1441 H | 22 April 2020 M | Tulisan/Artikel
Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada panitia, memaksa saya menulis. Semoga tulisan ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Harapannya, artikel bisa masuk sesuai yang diharapkan, Sesuai dengan semangat awal penyelenggaraan acara ini, yaitu menggerakkan tradisi menulis. Kata Pak Imron, “Menulis itu tradisi shalafush shalih”. Beliau juga selalu memotivasi “Tulisanmu adalah warisanmu.”
“Pingiiin, tapi tidak bisa menulis…”
“Dari mana kami mulai menulis?”,
“Temanya satu atau semua?”
Ibu, Bapak Dosen dan Karyawan UNISA, dan Teman-teman mahasiswa UNISA, kita semua adalah keluarga besar civitas akademika UNISA.
Ketika pandemic covid-19 ini akhirnya ditindaklanjuti Rektor dengan edaran untuk Work From Home dan Learning From Home, sebagaimana Ibu/ Bapak/Saudara, saya pun kaget. Shock.
Namun tidak ada pilihan. Kita wajib menjalani dengan ikhlas. Menjalani sesuatu yang sebelumnya belum pernah kita pikirkan. Bekerja dari rumah. Belajar dari rumah. Produktifitas kerja dan etos kerja, semuanya kitalah yang mengendalikan. Tidak ada pimpinan dan kepala unit di samping kita. Tidak teman sesame pegawai pun yang mengawasi kita. Kita bekerja benar-benar dari rumah. Yang ada hanya kita dan Allah.
Kita mau mulai kerja, yang kita lapori hanya Allah.
Kita mau menuntaskan pekerjaan atau menundanya lain waktu, hanya Allah yang Maha Tahu.
Karena semuanya serba online, WFH Memaksa kita mengasah ketrampilan komunikasi, baik dengan mahasiswa, rekan kerja, maupun dengan atasan. Salah paham itu biasa. Tidak perlu marah atau dimasukin hati. Cukup dipahami apa persoalannya, lalu carilah solusinya. Masalah kecil tidak perlu dibesar-besarkan.
Nah, satu hal yang bisa dituliskan adalah bagaimana respon pertama Anda terhadap Surat Edaran Rektor UNISA no 314/ UNISA/ Au/ III/ 2020 tentang Pembatasan Secara Penuh Aktivitas di Kampus Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Kedua, peluang dan hambatan yang Anda hadapi terkait kuliah online.Bagaimana Anda mengatasinya?
Ketiga, Sejak kapan Anda mengenal Muhammadiyah, ‘Aisyiyah dan UNISA Yogyakarta? Jelaskan.
Keempat, Ibu/ Bapak/ Saudara dapat menjelaskan skilas tentang Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, gerakan tajdid dan gerakan dakwah yang Anda ketahui. Bisa juga sampai mengenal “Panduan Ibadah dalam kondisi Darurat Covid-19” yang telah dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kelima, apakah Ibu/ Bapak/ Saudara mengenal sosok dr. Erwin Santosa, Sp.A., M.Kes? Apakah beliau menginspirasi Anda?
Keenam, Bagaimana peran Anda dalam menangani covid-19, apapun kedudukan dan jabatan Anda. Tuliskanlah.
Ketujuh, bagaimana Anda menjaga fisik tetap sehat wal afiat dan mampu bekerja optimal?
Kedelapan, bagaimana persiapan mental dan spiritual yang Anda lakukan hingga saat ini agar mampu bekerja dengan sebaik-baiknya?
Kesembilan, apakah harapan Anda kepada pemerintah dalam penanganan covid-19 ini?
Kesepuluh, apakah harapan Anda kepada masyarakat dalam situasi covid-19 saat ini?
Kesebelas, bagaimana refleksi covid-19 bagi kita Anda salah satu warga civitas akademika UNISA. Kampus kita kampus kesehatan. Sudah saatnya kita bergerak menulis, membantu masyarakat untuk lebih bijak menyikapi informasi. Ta’awun perlu dimaknai dalam tataran yang lebih kongkrit.
Ada tenaga medis yang ditolak oleh masyarakat tempat tinggal tenaga medis tersebut.
Ada jenazah tenaga medis yang ditolak pemakamannya di daerah tersebut oleh segelintir masyarakat yang mengatasnamakan warga.
Dua hal itu mengundang keprihatinan kita semua, baik tenaga medis maupun pemerhati pendidikan. Hal itu mengajarkan pada kita pentingnya edukasi tentang kesehatan, pendidikan dan agama kepada masyarakat secara terus menerus dan berkelanjutan.
Menurut Anda, bagaimanakah kehidupan bermasyarakat yang sebaiknya Anda bangun, agar keluarga Anda sakinah, Anda bisa bekerja di rumah sakit dengan baik, masyarakat bisa menerima kehadiran Anda dan mendukung program kesehatan dan pendidikan.
Apakah harus seperti itu?
Tidak… Itu kan semacam kisi-kisi bantuan. Dipakai, boleh. Menggunakan kreasi Anda sendiri, tentu boleh banget.. Anda bebas menulis dari mana, menulis dengan gaya apa saja.
Mengirimkan naskah untuk UNISA Yogya Menulis berarti berpartisipasi sebagai warga civitas akademika UNISA. Semoga ikhtiar kecil kita ini bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi pintu terbukanya ampunan dan maghfirah Allah. Kita juga berharap, dengan menulis artikel covid-19 bersama UNISA Yogya Menulis, ukhuwah kita semakin erat dan membuka lebar pintu-pintu kasih sayang Allah. Sungguh Allah telah mengajarkan dengan kalam. Mengajarkan pada kita apa yang tidak kita ketahui, lalu kita menjadi tahu.[]
Yogyakarta, 22 April 2020
Sri Lestari Linawati adalah Dosen UNISA Yogyakarta. Anggota LPPI UNISA. Pengelola Asrama UNISA. Pembina UKM HW Kafilah UNISA. Pengurus ALAIK PTMA (Asosiasi Lembaga Al-Islam Kemuhammadiyahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah)
oleh Sri Lestari Linawati | 26 Sya'ban 1441 H | 19 April 2020 M | Tulisan/Artikel
Kepergian Pak Mohammad Nadjikh terasa begitu cepat. Anak saya bertanya, “Itu Pak Nadjikh yang pernah Ibu ceritakan?” “Benar, Nak..” jawab saya. Di berbagai grup whatsapp yang ada, mulai Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah Banyuraden, Dosen UNISA Yogyakarta, Alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM/IRM), Asosiasi Lembaga Al-Islam Kemuhammadiyahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah, Komunitas Menulis “Sahabat Pena Kita”, tampak rasa duka mendalam karena kepergian Pak Nadjikh.
Tulisan Yuswohady, pakar marketing, terkait tentang Almarhum Pak Nadjikh berjudul “NADJIKHNOMIC” banyak dishare oleh teman-teman di grup whatsapp. Saya menangkap bahwa tulisan Yuswohady tersebut mewakili suara hati yang membagikannya. Namun demikian, saya sedang mendidik diri untuk tidak berhenti pada aktivitas membaca. Saya harus belajar menulis. Menulis apa yang saya rasakan, apa yang saya dengarkan, apa yang saya pikirkan. Ya, Pak Nadjikh adalah sebagaimana yang dituliskan Yuswohady.
Mengapa saya katakana demikian? Karena kebetulan beberapa waktu lalu, Pak Nadjikh sempat diundang kampus kami, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, untuk ceramah kepada kami semua segenap pegawai UNISA. Di Hall 4 Prof. Siti Baroroh Baried waktu itu, beliau menyampaikan pengalaman beliau. Ya, sebagaimana yang ditulis Yuswohady berikut ini:
“Bagi saya Pak nadjikh adalah sosok giving leader hebat yang populasinya langka di negeri ini. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga penjual ikan miskin di Gresik dan pola hidup prihatin sejak kecil (saat kuliah di IPB, ayahnya meninggal dan ia harus menggantikan sang ayah untuk mengasuh tujuh adiknya) telah menempa dan membentuk karakter Pak Nadjikh menjadi entrepreneur yang ulet dan mementingkan banyak orang, tidak selfish. Misi hidupnya Cuma satu, membawa kemanfaatan kepada banyak orang.”
Ya, begitulah sosok Pak Nadjikh. Waktu itu di UNISA, beliau juga menyampaikan bagaimana upayanya meyakinkan ibunya dan juga istrinya bahwa mereka akan memiliki rumah dengan cara baru, cara mudah, cara yang mengikuti jaman. Kumpulkan uang dulu, maka memiliki rumah bisa dilakukan dalam hitungan menit. Tidak harus dengan cara lama, yaitu menyiapkan batu bata dulu. Lain waktu kalau ada rejeki, beli semen. Ada rejeki lagi beli genteng. Lama Pak Nadjikh harus bekerja keras untuk meyakinkan hal ini. Saya kira perjuangan Pak Nadjikh ini unik. Benar, namun memang semacam itulah kendala yang seringkali kita hadapi dalam keluarga. Pak Nadjikh tidak membahasnya dalam diskusi, namun beliau berjanji dalam hatinya dan mewujudkannya dalam kerja nyata.
“Ngopeni yang Kecil” juga dilihat secara khusus oleh Yuswohady. “Yang paling menarik saya dari sosok Nadjikh adalah niat ingsung di balik ia berbisnis..” demikian tulisnya. Kemudian Yuswohady menguraikannya panjang lebar, sampai ia menyebutnya “Nadjikhnomic”, yaitu model bisnis kemitraan pelaku ekonomi besar dan gurem ala pak Nadjikh.
Ternyata Dahlan Iskan pun menulis tentang Pak Nadjikh. Judulnya “Tiba-tiba Tiada.” Membaca uraian Dahlan Iskan, menambah keyakinan saya tentang Pak Nadjikh. Apa yang menarik dari tulisan Pak Dahlan Iskan?
“Betul. Yang meninggal ini teman baik saya. Sesama pengusaha. Hanya saja ia pengusaha besar sekali. Namanya: Mohammad Nadjikh. Umur: 55 tahun. Bidang usaha: Perikanan. Ia tokoh Muhammadiyah. Jabatannya saat ini: Ketua Bidang Perekonomian Pengurus Pusat Muhammadiyah. Ia alumnus Institut Pertanian Bogor, IPB. Yang sekarang menjadi salah satu anggota wali amanat di universitas itu. Saya selalu hormat padanya—biar pun saya lebih tua. Kalau ia minta sesuatu saya tidak bisa menolak.” Demikian tulis Dahlan Iskan.
Hati saya miris membacanya. Memaksa saya untuk merenungkan kembali sosok Pak Nadjikh yang pernah datang ke UNISA Yogya beberapa waktu lalu. Memaksa saya untuk mempertanyakan kembali hakikat dan makna bermuhammadiyah.
Pak Dahlan Iskan pun menuliskan “Saya memang dikirimi fotonya segala. Foto rumah besar yang didatangi polisi dan ambulans. Tapi saya tetap tidak kepo. Termasuk ketika pembicaraan mereka sampai pada: virus sudah masuk ke Graha Famili. Graha Famili adalah salah satu kompleks perumahan termahal di Surabaya—terutama yang di sekitar lapangan golf. Bahkan saya tidak tahu kalau Nadjikh sudah pindah ke situ… Tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau foto rumah yang beredar itu adalah rumah barunya Nadjikh. Saya menyesal tidak kepo. Saya tidak menyangka.”
Sampai di sini, saya tidak menahan tangis ini. Sebagaimana yang Pak Nadjikh sampaikan di kampus kami UNISA beberapa waktu lalu, saya yakin bahwa Graha Famili adalah rumah yang pernah beliau janjikan pada Bu Asnah ibunya dan Titik Widajati istrinya. Saya bisa membayangkan bahagianya Pak Nadjikh akhirnya berhasil mewujudkan impiannya itu. Membahagiakan ibu dan istrinya dengan caranya yang berbeda.
“Akhirnya dia menikah. Acaranya amat sederhana. Saya yang melamarkan kepada calon mertuanya. Saya yang khutbah nikah. Dia mempersunting Titik Widajati, dokter hewan, gadis berkulit kuning langsat dari Jalan Jolotunda Surabaya. Kini mereka dikaruniai anak: tiga putra dan satu putri.” Demikian tulis Ustadz Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Hati, fikiran dan perasaan saya bertanya dan bertanya. Tentu bukan kebetulan Pak Nadjikh hadir di kampus kami UNISA Yogyakarta, kampus perempuan pertama di Indonesia. Para pimpinan dan pemangku kebijakan di kampus kami juga seringkali menyampaikan pada para pegawai tentang pentingnya komitmen pada persyarikatan. Saya kira, nilai-nilai moral yang diyakini Pak Nadjikh itulah nilai karakter yang musti kami teladani, kami aplikasikan dalam kehidupan kampus.
Bu Rektor sendiri yang mengumumkan di grup whatsapp Dosen UNISA. “Dapat kabar duka dari dr Suko Rektor UMS: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia Ketua MEK PP Muhammadiyah dan salah satu tokoh besar perikanan Indonesia –Bapak Muhammad Nadjikh (CEO PT Kelola Mina Laut) pada hari ini Jumat, 17 April 2020 pukul 10.00 WIB. Mohon doa dari semuanya. Semoga husnul khatimah dana mal ibadahnya diterima Allah SWT.”
Makjleb.
Kami semua berduka. Kita semua kehilangan sosok teladan. Pak Nadjikh adalah profil kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa. Saya bangga pada pak Nadjikh. Beliau Muhammadiyah dan tetap istiqamah memberdayakan ekonomi umat. Sebagaimana disampaikan Pak AR bahwa bermuhammadiyah itu hakikatnya berislam. Sebagaimana juga lagunya “Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku.”
REFLEKSI KARAKTER BAGI PENGEMBANGAN PTMA
Kepergian pak Nadjikh karena terpapar covid-19 adalah sebuah kenyataan. Pedih terasa. Work From Home adalah ikhtiar dunia pendidikan untuk mengatasi penyebaran virus ini. Setelah lockdown, pemerintah pun memberlakukan PSBB, pembatasan social berskala besar. Berbagai keprihatinan ini sudah saatnya mendongkrak kesadaran kita untuk kembali kepada Sang Pencipta. Merenungkan kembali misi kita hidup di dunia.
Kita semua terdampak adanya covid-19. Dosen, karyawan, mahasiswa, pak satpam, cleaning service, tukang taman, pedagang kantin, ptugas took, juru parkir, maupun para pemasok makanan di kantin kampus.
Sejak dinyatakan kampus untuk WFH per 18 Maret 2020 dengan surat Rektor no 296/ UNISA/ Au/ III/ 2020, hingga saat ini, ada 9 kuesioner yang saya isi terkait covid-19 ini, baik pemahaman tentang covid, pembelajaran, work from home, physical distancing, dampak psikologis, hingga mudik lebaran.
Bagi kita yang berkhidmat di persyarikatan ini melalui perguruan tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah, sudah saatnya mengkaji ulang Muhammadiyah sebagaimana yang difahami oleh Pak Nadjikh.
Yuswohady menuliskan “ Saat ini bisnis KML didukung oleh 600 UKM (pengepul) dan 125 ribu nelayan di sepanjang perairan Nusantara mulai dari Gresik, Madura, Makassar, Kendari, hingga Ambon.” Saya yakin, para pengepul dan para nelayan itu mau bekerjasama dengan Pak Nadjikh karena Pak Nadjikh memberikan kepada mereka jalan-jalan penghidupan yang mencerahkan, memerdekakan.
MUNGKINKAH DUNIA PENDIDIKAN BERKACA PADA SUKSES PAK NADJIKH?
“Wahai orang-orang yang beriman. Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dank e tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘And. Itulah kemenangan yang agung.” (QS Ash Shaf (61): 10-12)
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al-Qur’an), mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang telah Kami anugerahkan kepada mereka, dengan diam maupun terang-terangan,mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathir (35): 29-30).
GERAKAN PEREMPUAN DAN PEMBERSIHAN DIRI
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab (33): 35).
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah (45): 23).
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al-A’la (87): 14-17).
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Janganlah (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya” (Al-Fajr (89): 17-23).
“Dia mengatakan, “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini. Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksaNya. Dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatanNya. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu. Masuklah ke dalam surgaKu.” (Al-Fajr (89): 24-30).
Yogyakarta, 19 April 2020
Sri Lestari Linawati adalah Dosen Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Pembina UKM Hizbul Wathan Kafilah UNISA, Pengelola Asrama Mahasiswa UNISA dan Pengurus Asosiasi Lembaga Al-Islam Kemuhammadiyahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (ALAIK PTMA).
oleh Sri Lestari Linawati | 24 Sya'ban 1441 H | 17 April 2020 M | Tulisan/Artikel
Banyak mahasiswa menjadi panic dan dilanda putus asa saat mengejar target kelulusan baca Al-Qur’an. Masa akhir studi disibukkan oleh bimbingan skripsi. Di samping harus mengejar dosen pembimbing, memikirkan revisi, juga pusing memikirkan kemampuan baca Al-Qur’an. Bila tidak lulus baca Al-Qur’an, maka ujian skripsi terancam gagal. Minimalnya tertunda. Konsekuensinya wisuda pun akan tertunda.
Diambillah jalan pintas: minta dispen. Dispen adalah surat keterangan keringanan untuk menunda sementara kelulusan baca Al-Qur’an. Yang penting bisa ikut ujian skripsi dulu, baru bimbingan mengaji lagi, lalu ujian ngaji lagi sampai lulus. Sampai wisuda belum lulus baca Al-Qur’an? Ijazah belum bisa diberikan. Inilah upaya sistemik mendorong ilmuwan muslim mencintai Al-Qur’an.
Apakah harus dihapuskan saja ujian baca Al-Qur’an agar calon lulusan tidak kesrimpet hanya untuk urusan mengaji? Bukan itu solusinya. Yang perlu difikirkan adalah bagaimana mengupayakan ketercapaiannya dengan didukung oleh segenap pihak kampus yang terkait. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) adalah lembaga keislaman kampus yang bertugas menyelenggarakan pembinaan dan ujiannya. Namun bagaimana menumbuhkan motivasi mahasiswa untuk belajar dan rajin mengikuti pembinaan membaca Al-Qur’an bukanlah tugas LPPI semata. Dukungan moral dari prodi sangat diperlukan.
Apakah dukungan itu hanya diberikan prodi pada saat mahasiswa sudah mentok di saat bimbingan skripsi? Semestinya tidak. Dosen di tiap mata kuliah juga memiliki andil yang luar biasa untuk memotivasi mahasiswa agar selalu membaca Al-Qur’an. Caranya? Dengan menguraikan integrasi keilmuan profesi dengan ayat Al-Qur’an. Mengapa? Karena Al-Qur’an adalah basis keilmuan. Titik berangkat seorang ilmuwan mengkaji, meneliti, hingga menyampaikannnya dalam pengajaran dan melakukan pengabdian masyarakat adalah nilai-nilai Al-Qur’an. Hal integrase ilmu dan Al-Qur’an akan dibahas pada lain kesempatan, insyaallah. Pembahasan kali ini akan lebih focus pada pencapaian target kelulusan baca Al-Qur’an.
Beberapa mahasiswa yang saya temui dan belum lulus mengaji, mengeluh pada saya. “Bu, kami ingin segera lulus kuliah..” Saya jawab ringan,”Ya, ikuti bimbingan mengaji di masjid kampus.” Ada pertanyaan besar dalam benak saya, mengapa mereka tidak mempelajari sejak dulu? Mengapa baru sekarang mereka sibuk bimbingan baca Al-Qur’an? Wajar kan kalau itu membuat stress?
Ketika melewati masjid kampus dan melihat antrian bimbingan mengaji yang panjang, pikiran saya kembali teraduk. Bagus sih semangat mereka ikut bimbingan, tapi mengapa mereka antrinya sibuk dengan hp masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggoda. Saya tidak habis pikir, mengapa untuk urusan mengaji saja kok jadi tampak susah.
Saya sadar bahwa tangan saya hanya kecil. Saya tidak berwenang membuat kebijakan. Saya hanyalah pengajar biasa. Maka wewenang saya hanya pada kelas yang saya ampu. Mengaji di awal perkuliahan yang telah menjadi keputusan dan kebijakan kampus, perlu saya dukung. Landasan ayat Al-Qur’an untuk setiap materi yang disampaikan di kelas juga disampaikan. Adapun khusus pada materi hafalan surat, ini adalah kesempatan lebar bagi saya untuk memastikan mahasiswa tertambat hatinya pada Al-Qur’an.
Setelah saya mencontohkan bacaan yang benar pada satu ayat, saya minta mahasiswa satu per satu menirukannya. Masukan terhadap bacaan mereka, saya minta dicatat pada buku mereka masing-masing. Ada yang bermasalah pada huruf “a”, “ha”, “sa” dst. Ini masalah makharijul hurf. Ada pula yang mengalami masalah pada panjang pendek bacaan. Ada pula yang bermasalah pada tajwidnya. Setiap mahasiswa memiliki masalah bacaan masing-masing. Inilah keunikan kondisi kelas. Solusi pada tiap kelas pun akhirnya berbeda-beda. Di sinilah peran penting guru, pengajar atau pembimbing untuk mengenali karakteristik persoalan yang dihadapi tiap peserta didiknya.
Di akhir perkuliahan, saya minta mereka menuliskan refleksi pembelajaran. Di antara pelajaran yang mereka dapatkan dari proses membaca Al-Qur’an ini adalah:
Perlu membaca Al-Qur’an setiap hari,
Ketika menghadapi masalah, pastikan membuka Al-Qur’an,
Lebih semangat dalam menghafalkan surat-surat pendek.
Tidak menunda-nunda waktu shalat,
Lebih menghargai ketika ada teman membaca Al-Qur’an.
Memperbaiki cara membaca Al-Qur’an dari makharijul huruf dan tajwid,
Mempelajari kembali ilmu tajwid,
Sering-sering mendengarkan murattal Al-Qur’an, terutama saat hendak tidur,
Berkendara pun senantiasa melantunkan dalam hati bacaan surat Al-Qur’an. Naik motor ke kampus, baca surat Juz Amma. Naik bis, naik kereta, ataupun naik gojek, pastikan selalu melantunkan bacaan Al-Qur’an dalam hati.
Tentu saja refleksi mereka membuat saya tersentuh dan terharu. Dengan itu, saya berharap mereka termotivasi untuk membaca dan membaca Al-Qur’an. Hanya itu? Agar pada saatnya kelak, ketika mereka bimbingan skripsi, tidak lagi disibukkan dengan bimbingan baca Al-Quran.
Bagaimana mengejar target kelulusan mahasiswa dalam Al-Qur’an bagi mahasiswa yang sudah dalam keadaan kepepet? Waktu yang dipunyai hanya satu bulan saja?
Tentu diajak belajar mengaji pelan-pelan. Mempelajari dari pelajaran yang sangat dasar, yaitu pengenalan huruf. Hlo, apakah mereka belum kenal huruf hijaiyyah? Buat yang sudah kenal, ini sifatnya review. Ada banyak mahasiswa lainnya yang kemungkinan sebagai muallaf. Atau, bisa jadi mereka pernah belajar mengaji, tapi dulu banget, sehingga lupa huruf hijaiyah.
Target yang akan kita capai baru sebatas target minimal kelulusan, yaitu nilai 70. Yang penting lulus. Makhraj benar, tajwid benar, dan lancar. Nah, ini yang akan menjadi focus pembelajaran. Menjadi urgen dan strategis dalam kondisi seperti ini untuk menampilkan pembelajaran baca Al-Qur’an yang menyenangkan. Kuncinya pertama adalah aturan main dalam pembelajaran disampaikan untuk bisa ditaati bersama. Pada pelaksanaannya, tidak serta merta aturan dapat ditegakkan. Pendidik perlu mengingatkan terus menerus aturan yang yang telah disepakati. Saat kita tenggelam dalam pembelajaran baca Al-Qur’an seperti ini, terasa ada sebuah kenikmatan yang luar biasa. Melihat mahasiswa satu per satu mulai termotivasi untuk membaca dan membaca Al-Qur’an, menumbuhkan harapan baru dalam hidup ini. Al-Qur’an bukan lagi beban mahasiswa. Bukan momok atau pun monster. Sebaliknya, Al-Qur’an adalah sebuah kerinduan.
Sampai di titik ini, saya belajar bahwa mahasiswa itu memerlukan bantuan serius tentang pembelajaran baca Al-Qur’an ini. Saya teringat pada sebuah refleksi sederhana pendidikan “Bila bisa dibuat mudah, mengapa harus dibuat sulit?”
Yogyakarta, 17 April 2020
Sri Lestari Linawati lulusan Sastra Arab UGM dan Psikologi Pendidikan Islam Magister Studi Islam UMY. S-2 nya ditempuh setelah 14 tahun berlalu dari S1-nya, yaitu sejak keempat buah hatinya besar. Sejak lulus S2, tahun 2014, Lina mengabdi di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi UNISA (Universitas ‘Aisyiyah) Yogyakarta. Kegiatan pengajaran yang diampunya adalah pembelajaran baca Al-Qur’an dan semua kegiatan kampus yang terkait, seperti Asrama, OSCIE. Baitul Arqam dan mata kuliah AIK.
oleh Sri Lestari Linawati | 17 Sya'ban 1441 H | 10 April 2020 M | Tulisan/Artikel
Hari ini mau menulis apa ya? Bukannya ini hari libur, mengapa harus menulis? Bukankah perkuliahan juga libur? Hehe.. iya libur. Saya jadi ingat kemarin dua mahasiswa PJ kelas menghubungi saya, “Ibu, mengingatkan besok ada jadwal kuliah dengan kelas kami, apakah Ibu berkenan masuk?”
Saya tahu bahwa besok tanggal merah, namun untuk memastikan jawaban yang harus saya berikan kepada mahasiswa, saya membuka catatan perkembangan perkuliahan kelas tersebut. Aha.. ternyata saya sudah menyampaikan sebelumnya tentang tanggal berapa kelas ini akan pertemuan kembali. Oya, PJ juga sudah sudah pernah konfirmasi kembali. Ok.. ok.. tidak apa. Kita memang harus banyak-banyak memaafkan, lebih memahami mahasiswa.
Mendidik mahasiswa itu kan sebagaimana mendidik anak-anak kita sendiri. Anak kita sendiri, darah daging kita sendiri, mereka memiliki keragaman pola pikir dan laku. Kadang kita dibuat geram juga oleh anak sendiri. Punya anak 4, ya empat macam karakter yang harus kita selami. Apalagi mahasiswa yang banyak itu kan anaknya orang banyak, maka tak ada pilihan, kecuali kita sabar menjelaskan kembali. Akhirnya saya fotokan kalender April dan saya lingkari tanggal sepuluh ini. Dia pun tersenyum dan berkata, “Iya, Bu, ini saya lihat di simptt ada jadwal kita. Baik, Bu, kalau begitu saya ganti.” Alhamdulillah.
Dari pengalaman kecil itu mengajarkan pada saya sebuah hikmah kuliah online, yaitu meningkatkan komunikasi. Semua urusan perkuliahan di hari work from home ini diharapkan selesai dengan cara online. Tidak ada tatap muka. Ini titik baliknya. Oleh karena itu kurang bijak mengatakan “saya tidak suka kuliah online, mending tatap muka.” Bukankah wabah corona ini datang begitu saja? Bila ditawari, siapa sih yang mau sakit? Tidak ada yang mau, namun yang kita tahu hanyalah “Apabila kamu sakit, maka berobatlah.” Bukankah kita pernah sakit? Inilah hikmahnya pelajaran sakit yang Allah berikan pada kita.
Oya, kembali ke persoalan menulis. Apa yang harus ditulis? Baiklah, yuk kita baca dulu. Buku Free Writing-nya Pak Hernowo Hasim cocok kita baca saat kita buntu, tidak punya ide. Beliau menuliskan di halaman 54 “Sekali lagi, saya menganjurkan untuk membaca “ngemil” dengan keperluan “mengikat” gagasan. Gagasan tidak terduga kehadirannya. Lewat membaca “ngemil” kita memang sudah menyiapkan diri untuk berhenti sejenak atau jeda dalam membaca. Apabila dalam keadaan seperti itu dibiasakan maka seluruh diri kita –terutama pikiran- akan peka dan awas dalam menjalankan kegiatan membaca. Memperoleh gagasan akibat membaca adalah berkah yang tidak terkira. Membaca itu tidak mudah. Membaca itu berat. Namun, begitu kita mendapatkan gagasan dari membaca, membaca terasa ringan, menyenangkan, serta menghasilkan.
Nah, jadi Anda faham kan apa yang dimaksud dengan “baca ngemil”? Ternyata membaca itu bisa juga lho dilakukan dengan ngemil, sedikit demi sedikit membacanya. Bukan membaca sambil ngemil ‘klethikan’ lho. Kalau untuk yang kedua ini, seorang teman saya menuliskan “Meskipun di rumah, tetap gunakanlah masker, agar mulut tidak mengunyah terus.” Hehe..
Lalu apa hubungannya antara “baca ngemil” dan “nulis ngemil”? Menulis itu, sebagaimana membaca, juga bisa dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit. Ada ide dan gagasan, tulislah. Macet? Bacalah. Ada ide lewat lagi? Tulislah kembali. Macet lagi? Istirahatlah sejenak.. Membaca lagi? Iya. Tapi anak-anak sudah ribut?
Bila ini yang terjadi, segera hentikan dulu membaca dan menulis Anda. Segeralah pergi ke dapur. Siapkan makan untuk anak-anak dan suami. Makanlah bersama dalam suasana nyaman bertabur cinta dan kasih sayang. “Cara terbaik untuk membuat anak-anak betah di rumah adalah menciptakan suasana yang menyenangkan dan jauh dari kejenuhan.” (Dorothy Parker)
Apakah masih belum bisa meneruskan tulisan Anda? Saya pun pernah mengalami sebagaimana yang Anda alami. Itu terjadi ketika di belakang masih ada setumpuk pekerjaan: baju yang belum dicuci, cucian baju yang belum dijemur, piring gelas yang belum dicuci, halaman yang belum disapu, air di tandon habis, stop kontak air yang putus, atau galon air minum yang kosong. Bila ini yang terjadi, maka segeralah selesaikan, baru duduk manis untuk menulis.
Bukankah capek mengerjakan semua pekerjaan rumah itu? Tentu, namun bukankah kita juga meyakini “La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, “Tidaklah Allah membebani setiap diri kecuali sebatas kemampuannya”. Jadi, lakukan saja tugas-tugas itu dengan suka cita. Apabila selesai, istirahatlah sejenak. Bersyukurlah pada Allah karena atas pertolonganNya, kita mampu menyelesaikan pekerjaan itu. Bila telah on kembali, maka mulailah mengerjakan tugas lainnya. Faidza faraghta fanshab. Subhanallah, inilah indahnya berislam.
Hari-hari ini, kita masih menyimpan ketakutan pada corona. Dahlan Iskan pun menulis “Corona Apalagi”. Dahlan mengingatkan kita untuk bangkit dan berfikir positif. Tidak dapat dipungkiri, susah bagi kita untuk memilah antara ketakutan dan harapan. Antara faham mu’tazilah atau jabariyah. Antara menyerah ataukah masih bergerak mencari harapan. “Harapan dan ketakutan tidak dapat dipisahkan.” (Dug de La Rochfoucauld).
Bosan di rumah aja? Malas membaca? Tidak punya waktu untuk menulis?
Yuk kita renungkan pesan berikut.
“Rasa bosan adalah satu-satunya penyebab utama dari kemerosotan hasil kerja manusia.” (Edward Thomdrike)
“Malas itu bukan berarti tidak berbuat apa-apa, tetapi merasa bebas untuk tidak berbuat sesuatu.” (Floyd Dell)
“Suatu garis pemisah antara sukses dan kegagalan , dapat dinyatakan dalam empat buah kata saja, yaitu: “Saya tidak punya waktu”. (Franklin Field)
Ya, menulis itu memang gampang-gampang susah. Itulah sebabnya Pak Imron, Dekan FIKes UNISA Yogya, nekat menyelenggarakan lomba menulis bagi segenap civitas akademika. Sederhana saja alasannya. Satu, kita semua sama-sama menghadapi corona. Ini realitas yang sangat jelas. Kita semua terdampak adanya corona. Artinya, bahan menulis itu sudah terpampang jelas di depan mata.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap orang melihat apa yang dilakukannya untuk hari esok, bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah seperti orang-orang yang melupakan Allah, dan Allah membuat mereka lupa akan diri sendiri, itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr (59): 18-19).
Marilah menulis, untuk mengingat kehadiran Allah di setiap detak nafas kita. Ketika kita melupakan Allah, maka mudah saja bagi Allah menjadikan kita lupa akan diri kita sendiri. Fasik. Na’udzubillah.
Mari buang rasa bosan. Mari tanggalkan rasa malas. Jangan mudah mengatakan “Saya tidak punya waktu”, padahal di saat yang sama kita sangat mengharapkan datangnya kesuksesan berpihak pada kita. Sungguh Allah Maha Mendengarkan doa. Gusti ora sare. Tersenyumlah. Tarik nafas panjang. Lihatlah mentari pagi mulai menyapa. Sambutlah hari dengan penuh suka cita dan berita bahagia. Bergeraklah. Menulislah. []
Yogyakarta, 10 April 2020
# DiRumahAja
# WorkFromHome
# PhysicalDistancing
# UNISAYogyaMenulis2020
# FIKesUNISAYogya-MasaKini
Sri Lestari Linawati adalah pegiat literasi, penggagas BirruNA “PAUD Berbasis Alam dan Komunitas”, peneliti di “Pusat Dunia” (Pusat Studi Anak Usia Dini dan Keluarga), kini mengabdi sebagai Dosen UNISA Yogyakarta.
oleh admin | 16 Sya'ban 1441 H | 09 April 2020 M | Tulisan/Artikel
Bersama Anak selama Work From Home
Hikmah terbesar selama Work From Home adalah full bersama anak di rumah. Kita bekerja dari rumah, anak belajar juga dari rumah. Yang penting internet kenceng dan lancar, maka pembelajaran online dan penugasan insyaallah oke. Apakah hanya terkait dengan internet?
Tentu tidak. Dalam kehidupan yang kita jalani selama dua puluh empat, ada banyak kegiatan di rumah yang membutuhkan kerjasama semua anggota keluarga. Mulai bangun tidur, wudlu, shalat malam, bersujud, memanjatkan doa, menyiapkan sarana prasarana kegiatan seharian nanti, menyapu halaman, mengisi air, olahraga, menyambut mentari pagi, hingga bisa duduk tenang membaca buku dan menulis.
Bukan pekerjaan sekali jadi, namun dilakukan bertahap satu demi satu dengan penuh suka cita, sepenuh cinta dan tetap dengan mengharapkan sepenuhnya pertolongan Allah. Mengapa? karena kemampuan manusia amat sangat terbatas. Antara jiwa dan fisik ada dalam satu kesatuan tubuh ini. Itulah sebabnya mengapa kita perlu menulis. Sebagai apapun kita, menulis itu diperlukan. Menulis itu mengambil hikmah. Menulis itu menggapai cahaya Tuhan.
Work From Home sebagai kebijakan yang diambil untuk mencegah penularan covid-19, membuat saya memikirkan tentang kematian. Kita dihadapkan pada suatu situasi begitu mudahnya orang mati saat terkena covid-19. Pandemi. Kita pun dicekam ketakutan akan kematian. Memang tidak semudah itu kita mati karena covid, namun toh kita dihadapkan pada keadaan waspada terhadap ancaman terpapar covid-19. Karena itulah saya ingin menulis, untuk menempatkan persoalan kematian ini pada tempat yang wajar.
“Setiap yang berjiwa akan merasakan mati”. Ayat ini terdapat dalam 3 ayat, yaitu surat Ali Imran (3): 185, surat Al-Anbiya (21): 35 dan surat Al-Ankabut (29): 57. Ingat ya, Teman, ada cara mudah untuk mencari ayat. Di google, Teman bisa mencarinya dengan aplikasi Lafzi. Cukup klik dengan transliterasi Indonesianya. Tidak perlu repot menulis dengan huruf khat atau tulisan Arab. Jadi, Teman cukup tulis “kullu nafsin dzaiqatul maut.” Nah, gampang kan? Sampai di sini, kita menjadi tahu kan manfaatnya sering mendengarkan murattal Al-Qur’an. Nggak punya ide, dengarin murattal. Sambil olahraga ringan di samping rumah, dengarin murattal juga oke. Leyeh-leyeh, asyik juga dengarin murattal. Mau tidur pun, murattal terasa indah terdengar di telinga. Jadi, mendengarkan murattal itu sama sekali tidak mengurangi waktu kita. Tetap bisa menjalankan aktivitas apapun. Kerja oke, kuliah oke.
Apa hubungan mati dengan menulis?
Janganlah kita mati sebelum menulis. Jangan biarkan ide kita, gagasan, pengetahuan, pengalaman kita ikut terkubur dengan jasad kita. Nah. Yuk mulai menulis..
Lalu bagaimana dengan anak-anak di rumah?
Nah, buat emak-emak seperti saya nih, bersama anak di rumah selama work from home memang asyik-asyik sedap. Asyik bila kita bisa kerjasama. Sedap bila indah kerjasama yang tertata. Bila tidak? Sewot tentulah yang dirasa.. Sebelum itu terjadi, yuk kita baca puisinya Dorothy Low Nolte.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengantoleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dalam kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Bismillah. Semoga Allah mampukan kita menjadi emak-emak shalihah yang mampu menerima kehadiran anak-anak kita apa adanya. “Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak dimiliki orang lain” (Arcele Ary Tandy).
Selamat bertugas. Selamat belajar. Semoga sukses, amin.
Yogyakarta, 9 April 2020
# DiRumahAja
# WorkfromHome
# PhysicalDistancing
# UNISAYogyaMenulis2020
# FIKesUNISAYogya-MasaKini